NEGERI INDONESIA

Keindahan Negeri Indonesia perlu kita jaga.

SAHABAT

Jangan pernah menyakiti sahabat baikmu.

TEKHNOLOGY

Kemajuan Tekhnology memudahkan aktivitas kehidupan.

SMK N 1 CLUWAK

Menunjukkan prestasi yang membanggakan.

SHOLAT ITU WAJIB

Jangan pernah tinggalkan kewajibanmu terhadap ALLAH SWT.

Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Oktober 2013

Memahami Makna Idul Adha

Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.

Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.

Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.

Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )     

Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.

Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.

Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)  

Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.

Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.

Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !

sumber :http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=59&catid=4:hikmah&id=1242:memahami-makna-idul-adha-&option=com_content&view=article

Beberapa Keistimewaan Sholat Shubuh

:: BEBERAPA KEISTIMEWAAN SHOLAT SHUBUH ::

1. MENJADI PENGHALANG MASUK NERAKA

Rasulullah SAW bersabda :
"Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar)."
(H.R. Muslim no. 634) 
2. JAMINAN MASUK SURGA

Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga."
(H.R. Bukhari no. 574 - Muslim no. 635)

3. DAPAT PAHALA SEPERTI SHOLAT SEMALAMAN

Rasulullah SAW bersabda :
Barangsiapa yang shalat isya' berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya." (H.R. Muslim no. 656)

4. MENDAPAT JAMINAN KESELAMATAN

Rasulullah SAW bersabda :
"Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam." (H.R. Muslim no. 163)

5. BERCAHAYA DI HARI KIAMAT

Rasulullah SAW bersabda :
"Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (Isya' dan Shubuh) menuju Masjid, dengan cahaya yang sangat terang pada hari Kiamat kelak."
(H.R. Ibnu Majah - Tirmidzi)

6. LEBIH BAIK DARI DUNIA DAN ISINYA

Rasulullah SAW bersabda :
"Dua rakaat shalat shubuh itu lebih baik dari dunia beserta isinya." (H.R. Muslim - Ahmad)

7. PARA MALAIKAT MENYAKSIKAN

Allah SWA berfirman :

"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat)." (Q.S. Al-Isra' 78)

Rasulullah SAW bersabda :
"Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh)." (H.R. Bukhari no. 137 - Muslim no. 632)

SubhanAllah..
Begitu banyak keistimewaan yang tersembunyi dibalik shalat shubuh. Sungguh merugilah kita yang telah sengaja meninggalkan serta melalaikannya.

Semoga kita tetap menjadi Umat Nabi Muhammad SAW yang senantiasa istiqamah dalam melaksanakannya. Niscaya kita akan termasuk golongan orang-orang yang beruntung di dunia juga di akhirat kelak. InsyaAllah.

Semoga catatan ini bermanfaat untuk kita semua. Dan menjadikan kita sebagai insan yang selalu istiqamah menjalankan sholat shubuh.
sumber : http://mdaattaqwa.blogspot.com/2013/05/beberapa-keistimewaan-sholat-shubuh.html

Keajaiban puasa senin kamis

Senin dan kamis merupakan dua nama hari dalam kalender Hijriyah dan Masehi. Namun hari itu memiliki keistimewaan tersendiri, karena pada hari itu Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk melaksanakan puasa sunnah pada hari-hari itu.
Puasa Senin dan Kamis adalah puasa yang paling sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
 Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah,
"Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya tentang alasannya, Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya segala amal perbuatan dipersembahkan pada hari Senin dan Kamis, maka Allah akan mengampuni dosa setiap orang muslim atau setiap orang mukmin, kecuali dua orang yang bermusuhan. Maka Allah berfirman,
"Tangguhkan keduanya."

(HR. Ahmad).

 Mengapa Nabi Muhammad SAW menganjurkan kita mesti puasa sunnah pada tiap hari Senin dan Kamis? Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Segala amal perbuatan manusia pada hari Senin dan Kamis akan diperiksa oleh malaikat, karena itu aku senang ketika amal perbuatanku diperiksa aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Tirmidzi).

Sebagai amalan sunnah, tentu saja puasa senin kamis ini memiliki posisi yang penting di mata Allah SWT. Allah akan memberikan pahala puasa secara langsung kepada yang mengerjakannya.
Amal kebaikan yang dilakukan oleh orang yang berpuasa akan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. Hal ini sudah dijanjikan oleh Allah SWT dalam sebuah hadits Qudsi-Nya:

"Puasa itu mulik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Dan kebaikan itu akan dilipatgandakan sebanyak 10 kali lipat."
(HR. Bukhari dan Abu Daud).

Kata puasa dalam hadits di atas mengandung makna secara umum, maksudnya adalah puasa sunnah maupun wajib, ya termasuk puasa senin kamis ini.
Inilah puasa yang disyariatkan oleh Rasululah SAW untuk menjaga keimanan dan ketakwaan seseorang. Diantara keistimewaan puasa senin kamis akan kita dapatkan di kehidupan akhirat pula.

Keistimewaan Puasa Senin Kamis:

1. Dijamin masuk Surga.
Allah SWT menyediakan surga untuk hamba-Nya yang beriman, bertakwa dan beramal saleh. Di sanalah mereka akan abadi dengan kenikmatan yang Allah SWT sediakan.

Karena itu, tidak ada tempat yang paling baik dan paling indah sebagai tempat kembali di akhirat kecuali surga. 
Surga yang penuh kenikmatan diciptakan oleh Allah SWT sebagai ganjaran atas jerih payah hambaNya yang bertakwa.

2. Terhindar dari Siksa Api Neraka.
Begitu istimewanya ibadah puasa di hadapan Allah SWT sehingga orang tersebut akan diberikan ganjaran surga di akhirat.

Namun, Allah SWT belum cukup dengan memberikan surga kepada orang-orang yang berpuasa. Allah SWT juga akan menjauhkan api neraka dari orang yang berpuasa sejauh-jauhnya.

3. Menjadi Penolong pada Hari Kiamat.

4. Menanamkan Kedekatan Diri pada Allah SWT.

Beberapa manfaat puasa Senin-Kamis bagi kesehatan jasmani antara lain adalah:
  • Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan. 
    Karena pada hari saat kita tidak berpuasa alat penceranaan di dalam tubuh bekerja sangat keras, dan pada saat puasalah alat pencernaan tersebut beristirahat
  • Membersihkan tubuh dari racun dan kotoran (detoksifikasi).
    Dengan puasa Senin-Kamis, berarti membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita sehingga menghasilkan enzim antioksi dan yang dapat membersihkan zat-zat yang bersifat racun dan karsinogen dan mengeluarkannya dari dalam tubuh.
  • Mencegah penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan gizi, yang belum tentu baik untuk kesehatan seseorang.
    Kelebihan gizi atau overnutrisi mengakibatkan kegemukan yang dapat menimbulkan penyakit degeneratif seperti kolesterol dan trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis (diabetes mellitus), dan lain-lain.

Fakta puasa..
Mantan presidenBJ Habibie dikenal sebagai orang yang selalu merutinkan puasa sunnah senin kamis . Baginya puasa senin kamis merupakan salah satu kunci sukses dalam kehidupannya.

Prof. Dr. Ir Amin Aziz, pendiri Bank Muamalat, ICMI, Baitul Mal watta’wil (BMT) dan Partai Amanat Nasional (PAN), juga orang yang selalu membiasakan diri berpuasa senin kamis dan sholat tahajjud. ” Saya rutin puasa senin kamis dan sholat tahajjud sudah puluhan tahun. Alhamdulillah kedua ibadah sunah di atas berdampak positif dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi saya”

Pimpinan Majlis Az Zikra, ust Muhammad Arifin Ilham, sejak muda selalu rajin puasa sunah senin kamis. Ia selalu mengamalkan tujuh sunnah harian rasulullah SAW, dan salah satunya yaitu puasa sunnnah senin kamis.

Hal ini juga diakui oleh beberapa orang ahli dari Barat yang non-muslim, sepertiAllan Cott M.D (Amerika), Dr. Yuri Nikolayev (Rusia) dan Alvenia M. Fulton (Amerika).
Allan Cott M.D bahkan telah membukukan beberapa hikmah dari puasa ke dalam sebuah buku yang berjudul Why Fast?
Berikut adalah beberapa hikmah dari puasa yang diambil dari buku Why Fast? :
  1. To feel better physically and mentally (merasa lebih baik secara fisik dan mental)
  2. To look and fell younger (supaya terlihat dan merasa lebih muda)
  3. To clean out the body (membersihkan badan)
  4. To lower blood pressure and cholesterol levels (menurunkan tekanan darah dan kadar lemak)
  5. To get more out of sex (lebih mampu mengendalikan sex)
  6. To let the body health itself (membuat tubuh sehat dengan sendirinya)
  7. To relieve tension (mengendorkan/melepaskan ketegangan jiwa)
  8. To sharp the senses (menajamkan fungsi indrawi)
  9. To gain control of oneself (memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri)
  10. To slow the aging process (memperlambat proses penuaan)
Sementara itu, Dr. Yuri Nikolayev berpendapat bahwa kemampuan puasa yang bisa membuat seseorang menjadi awet muda adalah sebagai suatu penemuan terbesar abad ini. Beliau mengatakan: “What do you think is the most important discovery in our time? The radioactive watches? Exocet bombs? In my opinion the bigest discovery of our time is the ability to make onself younger phisically, mentally and spiritually through rational fasting.”
(Menurut pendapat Anda, apakah penemuan terpenting pada abad ini? Jam radioaktif? Bom exoset? Menurut pendapat saya, penemuan terbesar dalam abad ini ialah kemampuan seseorang membuat dirinya tetap awet muda secara fisik, mental, dan spiritual, melalui puasa yang rasional).
Alvenia M. Fulton, Direktur Lembaga Makanan Sehat “Fultonia” di Amerika Serikat menyatakan bahwa puasa adalah cara terbaik untuk memperindah dan mempercantik perempuan secara alami. Puasa menghasilkan kelembutan pesona dan daya pikat. Puasa menormalkan fungsi-fungsi kewanitaan dan membentuk kembali keindahan tubuh (fasting is the ladies best beautifier, it brings grace charm and poice, it normalizes female functions and reshapes the body contour).
Ketiga orang ahli tersebut yang notabene adalah non-muslim bahkan mengakui kehebatan dari puasa. Mengapa kita yang muslim justru terkadang melalaikannya? Padahal jelas sekali Rasulullah telah bersabda seperti di atas tersebut.
Mari kita mulai berpuasa, jangan menunggu hingga Ramadhan tiba untuk berpuasa karena belum tentu usia kita akan sampai ke Ramadhan mendatang. Mari kita mulai dengan puasa sunnah Senin-Kamis. Dan jangan lupa untuk sahur dan berbuka mengikuti anjuran Rasulullah saw.
Semoga ALLAH SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-NYA kepada kita semua. Amiin ya Rabb al-’Alamin..

Hukum Shalat Jum’at dan Persyaratannya

Shalat Jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
Hai orang-orang beriman, apabila diseruuntuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (al-Jumu’ah: 9)
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu AllahSubhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau, yaitu al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu’ SyarhulMuhadzab (4/349).
Keutamaan Shalat Jum’at
Anugerah Allah Subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara anugerah tersebut adalah shalat Jum’at yang dikerjakan oleh hamba.
Di samping mendatangkan pahala, shalat Jum’at juga menjadi pembersih dosa antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ  ثَلَاثَةٍ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya, sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,  diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah tiga hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum’atan
Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma)
Apabila seseorang ditutup hatinya, dia akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal yang memudaratkan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam2/45)
Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullahmeriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda (yang artinya), “Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.” (Shahih at-Targhib no. 728)
Atas Siapa Shalat Jum’at Diwajibkan?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu wata’ala tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh tidak wajib Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian, anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih), dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrahradhiyallahu ‘anhu. Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu, orang yang tidak berakal (gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena terangkat dari tiga golongan : dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal (waras).” (Shahih Sunan at-
Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan “pena terangkat” adalah tidak adanya beban syariat.
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat orang: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan sahih oleh an-Nawawirahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang berkelamin ganda (ambiguousgenitalia, keraguan alat kelamin, -red.) tidak wajib Jum’atan karena tidak terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya seorang itu terbebas dari
tanggungan/kewajiban sampai yakin (adanya) persyaratan yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di sini belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’ 5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Teman-teman kami (ulama mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib Jum’atan bagi orang (yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan tentang (syarat) wajibnya’.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/350)
3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib Jum’atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’ 4/351, an-Nawawi rahimahullah, dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat, apabila tuannya mengizinkannya untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri Jum’atan karena sudah tidak ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat Jum’at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan haji wada’ di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum’at, beliau shalat zhuhur dan ashar dengan menjamak keduanya dan tidak shalat Jum’at. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Mereka safar untuk haji dan selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang shalat Jum’at saat bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain al-Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang setelah mereka.” (al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir  radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama berpendapat disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka mengikuti orang-orang yang mukim.
Di antara hujahnya, dahulu para sahabat yang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari, yang tampak, mereka ikut shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/15)
Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya Jum’atan atas seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal menetap di suatu tempat adalah syarat wajibnya Jum’atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para musafirin yang ada di atas kapal tidak wajib Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak sah jika mereka melakukan Jum’atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.  Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Jum’atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan yang memang tempat menetap. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm. 391)
5. Orang yang tidak ada uzur/halangan yang mencegahnya untuk menghadiri Jum’atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan, “(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala halangan yang mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal itu berupa sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada seorang pun yang bisa menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah (takut dari) penguasa zalim yang akan berbuat kezaliman, hujan deras yang terus-menerus, sakit yang mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk uzur juga adalah seseorang yang mengurusi jenazah yang tidak ada yang mengurusinya selain dia, yang apabila dia tinggalkan, jenazah itu akan tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid16/243-244)
6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi keringanan di sini adalah apabila si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan menemui kesulitan yang nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu, masuk pula dalam hal ini adalah seseorang yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang membolehkan meninggalkan Jum’atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang berkaitan dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum’at, seperti aparat keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga) di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan tugasnya untuk shalat Jum’at diperkirakan akan berdampak pada lambannya penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan segera sehingga bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya shalat Jum’at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak sah Jum’atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha, an-Nakha’i, Qatadah, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ashabur Ra’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, ‘Sah shalat Jum’at semuanya, apakah imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum’at adalah shalat hari raya sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.” (al-Jumu’ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun, padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab al-Jumu’ah”)
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ إلَى جِمَالِنَا فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at kemudian kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at terjadi sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi dua kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari tergelincir dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin Abi Thalib). Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum’at sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana jika dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25).

sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-shalat-jumat-dan-persyaratannya/

Keutamaan Shalat Jum’at

shalat_jumat
Allah telah memberikan karunia yang besar pada kita dengan adanya shalat Jum’at. Di antara keutamaan shalat tersebut bisa menghapuskan dosa dan kesalahan, juga bisa meninggikan derajat seorang mukmin, bi idznillah.

Di antara keutamaan atau fadhilah shalat Jum’at adalah sebagai berikut:
1- Menghapuskan Dosa
Dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
Di antara shalat lima waktu, di antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang berikutnya, itu dapat menghapuskan dosa di antara keduanya selama tidak dilakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 233).
2- Saat Allah menyempurnakan Islam dan mencukupkan nikmat
Pada hari itu, Allah menyempurnakan bagi orang beriman agama mereka, Dia pun mencukupkan nikmat-Nya, dan itu terjadi pada hari Jum’at. Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ketika Ibnu ‘Abbas membaca ayat di atas, beliau berkata, “Orang Yahudi mengatakan:
لو نزلت هذه الآية علينا، لاتخذنا يومها عيدًا!
Seandainya ayat ini turun di tengah-tengah kami, niscaya kami akan merayakan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari besar atau hari raya). Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini turun saat bertemunya dua hari raya yaitu hari raya ‘ied (haji akbar) dan hari Jum’at. (Disebutkan pula oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya)
3- Hari yang disebut Asy Syahid
Para ulama menafsirkan mengenai ayat,
وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ
Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.” (QS. Al Buruj: 3), dengan hari Jum’at. Sebagaimana kata Ibnu ‘Umar yang dimaksud asy syahid dalam ayat tersebut adalah hari Jum’at, sedangkan al masyhud adalah hari nahr (Idul Adha). (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 9: 70-71)
4- Jika bersegera menghadiri shalat Jum’at, akan memperoleh pahala yang besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Barangsiapa mandi pada hari jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka dia seolah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).” (HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)
5- Setiap langkah menuju shalat jum’at mendapat ganjaran puasa dan shalat setahun
Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3).
Penting!
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan,
وَتَبَيَّنَ بِمَجْمُوعِ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ تَكْفِير الذُّنُوب مِنْ الْجُمُعَة إِلَى الْجُمُعَة مَشْرُوط بِوُجُودِ جَمِيع مَا تَقَدَّمَ مِنْ غُسْل وَتَنْظِيف وَتَطَيُّب أَوْ دَهْن وَلُبْس أَحْسَن الثِّيَاب وَالْمَشْي بِالسَّكِينَةِ وَتَرْك التَّخَطِّي وَالتَّفْرِقَة بَيْن الِاثْنَيْنِ وَتَرْك الْأَذَى وَالتَّنَفُّل وَالْإِنْصَات وَتَرْك اللَّغْو
“Jika dilihat dari berbagai hadits yang telah disebutkan, penghapusan dosa yang dimaksud karena bertemunya Jum’at yang satu dan Jum’at yang berikutnya bisa didapat dengan terpenuhinya syarat sebagaimana yang telah disebutkan yaitu mandi, bersih-bersih diri, memakai harum-haruman, memakai minyak, memakai pakaian terbaik, berjalan ke masjid dengan tenang, tidak melangkahi jama’ah lain, tidak memisahkan di antara dua orang, tidak mengganggu orang lain, melaksanakan amalan sunnah dan meninggalkan perkataan laghwu (sia-sia).” (Fathul Bari, 2: 372).
Semoga Allah memudahkan kita dalam melakukan amalan-amalan mulia di hari Jum’at.Wallahu waliyyut taufiq.
sumber : http://rumaysho.com/hukum-islam/shalat/4212-keutamaan-shalat-jumat.html

Rabu, 07 November 2012

Ayat Al-Quran yang Dikagumi Yahudi


Bagi kaum Muslim, mengagumi Al Quran barangkali menjadi hal yang biasa. Apalagi dengan penemuan-penemuan terakhir dari para ilmuwan yang kian mengokohkan kebenaran Al Quran. Di antaranya, bulan yang pernah terbelah, adanya sungai bawah laut hingga penemuan jejak arkeologi kaum-kaum terdahulu. Memang semua tidak disebutkan, karena Al Quran menerangkan hanya sebagian dari kisah kaum terdahulu yang akan ditampakkan bekas-bekasnya.

“Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu (Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.” (QS. Huud, 11: 100)

Ternyata, bukan hanya kaum Muslimin dan ilmuwan berakal saja yang mengagumi Al Quran, sebagai kitab yang tetap terjaga keshahihannya. Bahkan sejak dulu kaum Yahudi juga mengagumi Al Quran. Dalam sebuah riwayat dikisahkan perbincangan antara ‘Umar bin Khattab dan Yahudi.

Dari Thariq bin Syihab, ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab:

“Kalian membaca sebuah ayat dalam Kitab (al-Qur’an) kalian. Sungguh apabila ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, tentu hari turunnya ayat itu akan kami jadikan sebagai hari raya.”
Umar bertanya: “Ayat yang mana?”
Mereka menjawab, “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku untukmu.” (Al-Maidah: 3)
Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku betul-betul mengetahui hari apa ayat itu turun kepada Rasulullah dan saat apa ayat itu turun. Ayat itu turun kepada Rasulullah pada sore hari Arafah, hari Jum’at.”
Percakapan di atas juga menegaskan, semestinya seorang muslim, bangga dengan keislamannya, sebab Allah telah menjamin kesempurnaan Islam. Dengan kebenaran dan kesempurnaan Islam, seorang muslim tidak perlu lagi bingung mencari sistem yang lebih baik ketimbang Islam.

Imam Thabrani telah mengeluarkan riwayat hadits dari Abu Dzar al-Ghifari yang menyatakan, “Rasulullah telah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara melainkan beliau telah menyebutkan ilmu kepada kami setiap kali kepakan sayap burung itu.”

Dengan kebenaran dan kesempurnaan Islam, dunia pernah merasakan buahnya kurang lebih seribu tahun, sejak Rasulullah hingga kekhilafahan Turki Utsmani pecah pada tahun 1924 masehi

Jika orang Yahudi saja bisa berkata seperti itu, apakah sebagai muslim kita tidak bangga dengan Islam?

Gaza, Bumi Allah Terbaik


Setiap sesuatu pasti ada puncaknya, yg terbaik di antara yg terbaik. Dan utk bumi Allah, tak ada tempat terbaik saat ini, kecuali Gaza. Dialah puncak dari semua tempat terbaik di muka bumi.

Dia menjadi mulia krn di dalamnya ada aktivitas jihad, yg merupakan puncak dari Islam. Kota itu setiap hari selalu dlm siaga perang. Hampir setiap hari ada berita warga yang syahid. Setiap malamnya bertugas pasukan yg menjaga perbatasan dari musuh zionis.

Aktivitas siaga & berjaga-jaga ini dlm Islam disebut "Ribath" & ribath adlh puncak dari jihad. Jika Gaza tertidur, Zionis pasti menyerang & mengambil bumi itu utk kembali dijajahnya. Hal tsb tertuang dlm protokol zionis yg ingin merebut semua wilayah Palestina.

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Ribath di jalan Allah jauh lebih mulia daripada mengunjungi Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa". Tdk ada perbedaan pandangan para ulama tentangnya.

Hal ini sesuai dgn Firman Allah, "Apakah (org2) yg memberi minuman kpd org2 yg mengerjakan haji & mengurus Masjidil Haram kamu samakan dgn org2 yg beriman kpd Allah & hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah" [At-Taubah (9):19]

Nabi SAW bersabda, "Ribath sehari, lebih baik drpd dunia dan seluruh isinya" (HR. Bukhori)

Ribath itulah yg menjadi kemuliaan kota ini. Allah & Rasul-Nya yg menjamin kemuliaannya. Sy merasakan sendiri betapa kota ini berbeda dgn kota Islam lain. Jamaah masjid yg penuh, jalanan bersih minim sampah walaupun terhias puing2 korban perang, kesantunan bahasa & kerapihan penampilan warganya. Padahal mrk sdg berjihad!

Kebaikan menyebar dlm semua sudut kehidupan mrk. Inilah jihad yg menghasilkan kehidupan positif. Dan itu semua ada di Gaza.